Rabu, 30 November 2016

PERSETUJUAN RENVILLE



Dengan adanya resolusi yang diadakan pada tanggal 31 Juli 1947, pada tanggal 25 Agustus 1947 Dewan keamanan PBB juga membentuk komisi konsuler yang bertugas mengawasi pengawasan geneatan senjata. Anggotanya juga terdiri dari konsul-konsul asing yang berada di Jakarta. Lalu dibentuk juga komisi jasa yang baik karena komisi jasa yang baik itu berasal dari tiga Negara menyelesaikan sengketa antara Belanda dengan Indonesia. Lalu diadakan juga perjanjian diatas kapal perang Amerika Serikat yang bertabuh dipelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta.
Dinamakannya perjanjian Renville dikarenakan nama kapal tersebut adalah USS Renville. Dari dasar pertimbagan mengadakan perjanjian diatas kapal Renville adalah karena pihak Indonesia menolak unuk berunding diwilayah-wilyah yang dikuasai oleh Belanda. Dari pihak Belandanya juga menolak untuk mengadakan perundingan-perundingan diwilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia. Dalam perundingan tersebut, dari pihak Indonesia diwakili oleh perdana menteri Amir Syarifuddin sedangkan dari pihak Belanda diwakili oleh Raden Abdulkadir Widjoyoatmodjo, orang Indonesia yang membelot dan pro Belanda. Dalam perundingan Republik Indonesia terpaksa harus mengakui pendudukan Belanda didaerah-daerah yang direbut dalam agresi meliter I. Penarikan pasukan ini berakibat buruk pada kehidupan ekonomi dan pertahanan bangsa Indonesia. Wilayah RI yang semakin sempit harus menampung jumlah penduduk yang banyak. Hal ini berarti makin menambah beban bagi pemerintah yang kondisi ekonominya sudah semakin parah.
Hasil dari perjanjian Renville ini ternyata tidak diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat(KNIP). Bahkan partai sosialis,partai ini berkuasa pimpinan dari Amir Syarifuddin juga menolak perjanjian tersebut. Rakyat juga menganggapnya bahwa Amir Syarifuddin terlalu memberikan konsensi kepada Belanda dan sangat merugikan Republik Indonesia. Akibatnya Kabinet Amir Syarifuddin jatuh lalu digantikan oleh Kabinet Hatta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar