Dengan adanya resolusi
yang diadakan pada tanggal 31 Juli 1947, pada tanggal 25 Agustus 1947 Dewan
keamanan PBB juga membentuk komisi konsuler yang bertugas mengawasi pengawasan
geneatan senjata. Anggotanya juga terdiri dari konsul-konsul asing yang berada
di Jakarta. Lalu dibentuk juga komisi jasa yang baik karena komisi jasa yang
baik itu berasal dari tiga Negara menyelesaikan sengketa antara Belanda dengan
Indonesia. Lalu diadakan juga perjanjian diatas kapal perang Amerika Serikat
yang bertabuh dipelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta.
Dinamakannya perjanjian
Renville dikarenakan nama kapal tersebut adalah USS Renville. Dari dasar
pertimbagan mengadakan perjanjian diatas kapal Renville adalah karena pihak
Indonesia menolak unuk berunding diwilayah-wilyah yang dikuasai oleh Belanda.
Dari pihak Belandanya juga menolak untuk mengadakan perundingan-perundingan
diwilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia. Dalam perundingan tersebut,
dari pihak Indonesia diwakili oleh perdana menteri Amir Syarifuddin sedangkan
dari pihak Belanda diwakili oleh Raden Abdulkadir Widjoyoatmodjo, orang
Indonesia yang membelot dan pro Belanda. Dalam perundingan Republik Indonesia
terpaksa harus mengakui pendudukan Belanda didaerah-daerah yang direbut dalam
agresi meliter I. Penarikan pasukan ini berakibat buruk pada kehidupan ekonomi
dan pertahanan bangsa Indonesia. Wilayah RI yang semakin sempit harus menampung
jumlah penduduk yang banyak. Hal ini berarti makin menambah beban bagi
pemerintah yang kondisi ekonominya sudah semakin parah.
Hasil dari perjanjian
Renville ini ternyata tidak diterima oleh Komite Nasional Indonesia
Pusat(KNIP). Bahkan partai sosialis,partai ini berkuasa pimpinan dari Amir
Syarifuddin juga menolak perjanjian tersebut. Rakyat juga menganggapnya bahwa
Amir Syarifuddin terlalu memberikan konsensi kepada Belanda dan sangat
merugikan Republik Indonesia. Akibatnya Kabinet Amir Syarifuddin jatuh lalu
digantikan oleh Kabinet Hatta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar