KERAJAAN
SAMUDERA PASAI
Raja pertamanya adalah Sultan Malik as Shaleh.
Beliau adalah keturunan dari Raja Islam Perlak, yaitu Makhdum Sultan Malik
Ibrahim Syah Joan (365 – 402 H/976 – 1012 M). Ada beberapa hal yang masih
simpang siur mengenai Sultan Malik as Shaleh. Ada yang menyebutkan beliau
memeluk agama Hindu yang kemudian diIslamkan oleh Syekh Ismail. Ada pula yang
menyebutkan bahwa beliau sudah memeluk agama Islam sejak awal. Sebelum bernama
Samudera Pasai, kerajaan ini bernama kerajaan Samudera. Kerajaan Samudera
merupakan kerajaan yang makmur dan kaya, juga memiliki angkatan tentara laut
dan darat yang teratur. Hubungan Kerajaan Samudera Pasai dengan Kerajaan
Perlak sangatlah baik. Dan hal ini makin dipererat dengan menikahnya Sultan
Malik as Shaleh dengan putri raja Perlak. Puncak kejayaan kerajaan Samudra
Pasai yaitu pada masa pemerintahan Sultan Al Malik Al Zahir (1326—1349/757—750
H).
Pedagang Persia, Gujarat, dan Arab pada awal abad
ke-12 membawa ajaran Islam aliran Syiah ke pantai Timur Sumatera, terutama di
negera Perlak dan Pasai. Saat itu aliran Syiah berkembang di Persia dan
Hindustan apalagi Dinasti Fatimiah sebagai penganut Islam aliran Syiah sedang
berkuasa di Mesir. Mereka berdagang dan menetap di muara Sungai Perlak dan
muara Sungai Pasai mendirikan sebuah kesultanan. Dinasti Fatimiah runtuh tahun
1268 dan digantikan Dinasti Mamluk yang beraliran Syafi’i, mereka menumpas orang-orang Syiah di Mesir, begitu pula
di pantai Timur Sumatera. Utusan Mamluk yang bernama Syekh Ismail mengangkat Marah Silu menjadi sultan di Pasai, dengan
gelar Sultan Malikul Saleh.
Marah Silu yang semula menganut aliran Syiah berubah menjadi aliran Syafi’i.
Sultan Malikul Saleh digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Malikul Zahir, sedangkan putra
keduanya yang bernama Sultan Malikul
Mansur memisahkan diri dan kembali menganut aliran Syiah.
Adanya Samudera Pasai ini diperkuat oleh catatan Ibnu Batutah, sejarawan dari Maroko.
Kronik dari orang-orang Cina pun membuktikan hal ini. Menurut Ibnu Batutah,
Samudera Pasai merupakan pusat studi Islam. Ia berkunjung ke kerajaan ini pada
tahun 1345-1346. Ibnu Batutah menyebutnya sebagai “Sumutrah”, ejaannya
untuk nama Samudera, yang kemudian menjadi Sumatera.Bukti lain dari keberadaan
Pasai adalah ditemukannya mata uang dirham sebagai alat-tukar dagang. Pada mata
uang ini tertulis nama para sultan yang memerintah Kerajaan. Nama-nama sultan
(memerintah dari abad ke-14 hingga 15) yang tercetak pada mata uang tersebut di
antaranya: Sultan Alauddin, Mansur Malik Zahir, Abu Zaid Malik Zahir, Muhammad
Malik Zahir, Ahmad Malik Zahir, dan Abdullah Malik Zahir. Pada abad ke-16,
bangsa Portugis memasuki perairan Selat Malaka dan berhasil menguasai Samudera
Pasai pada 1521 hingga tahun 1541. Selanjutnya wilayah Samudera Pasai menjadi
kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Waktu itu yang
menjadi raja di Aceh adalah Sultan Ali Mughayat.
KERAJAAN
MALAKA
Kerajaan Malaka tidak termasuk wilayah Indonesia,
melainkan Malaysia. Namun, karena kerajaaan ini memegang peranan penting dalam
kehidupan politik dan kebudayaan Islam di sekitar perairan Nusantara, maka
Kerajaan Malaka ini perlu dibahas dalam bab ini. Kerajaan Malaka (orang
Malaysia menyebutnya Melaka) terletak di jalur pelayaran dan perdagangan antara
Asia Barat dengan Asia Timur. Sebelum menjadi kerajaan yang merdeka, Malaka
termasuk wilayah Majapahit.
Pendiri Malaka adalah Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya
(Palembang). Ketika di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M,
Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura.Dari Singapura, ia menyingkir
lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun
pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara
bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang
yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan
surat jalan. Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan
Majapahit dari Jawa, ia menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang mengirimkan
balatentara di bawah pimpinan Laksamana
Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil
mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan
Sriwijaya dalam hal perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada
waktu itu merupakan Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui
oleh para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
KERAJAAN ACEH
Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri
dari kekuasaan Kerajaan Pidir. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568).
Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan
Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa
kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin
Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin
berdagang di Aceh. Kerajaan ini berdiri pada abad ke- 13 M. Pada awalnya Aceh
merupakan daerah taklukan kerajaan Pidir. Namun berkat jasa Sultan Ali Mughiyat
Syah, Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dan berdaulat penuh menjadi Kerajaan.
Atas jasa beliau, akhirnya Sultan Mghiyat Syah dinobatkan menjadi Raja pertama.
Kerajaan Aceh mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607—1638 M).
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, yang berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah,
Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di
Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun
1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi
penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan
(1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619). Gejala
kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah
tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti
mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi
luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada
dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan
dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan
tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin dari
Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar
Sani. Maka dari itu diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini
terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama
(Teungku). Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di
London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak
boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan
keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak memperluas wilayah
jajahannya ke Aceh.Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan
Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut.
Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah
pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh pria-wanita di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima
Polim.Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda
mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang
dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih.
Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya
menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian
dari Republik Indonesia.Sebagai daerah islam Aceh menjalin hubungan persahabatan dengan negeri islam di India, Arab, Turki dan dikepulauan Indonesia sendiri tujuannya untuk memperkuat hubungan dan menjaga persatuan sesama umat islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar